Dinasti Utsmani - Kekaisaran Muslim Eropa
Dinasti
Utsmani: Kekaisaran Muslim Eropa sebuah Serial dokumenter yang membahas
kejadian 600 tahun lalu dari Daulah
Utsmani yang menekankan pada pendirian, penyebaran, warisan dan artinya bagi
dunia Islam. Beberapa sumber diwawancarai untuk program itu guna membahas
keyakinan Islam dan pengaruhnya, setelah menonton serial itu. dan adanya
pandangan yang sekuler secara terang-terangan pada tayangan itu tidaklah
terlalu membuat kecewa. Namun beberapa waktu terakhir sempat terjadi debat yang
melibatkan produser program “Ottoman” yang merupakan seorang akademisi
spesialis dan seorang wartawan Turki.
Patut
mendapat pujian bahwa media mengambil masalah ini secara serius yang mana
membutuhkan waktu dan sumber daya dalam menyajikan suatu masalah yang banyak
diabaikan dalam sejarah. Untuk mengisi kekosongan ini dibutuhkan studi yang
serius. Pro dan kontra yang ada dampaknya tidak hanya kepada kaum Muslim, namun
juga kepada orang Eropa secara umum. Namun umat Islam akan kecewa karena yang hal
tersebut berasal dari pandangan yang secara terang-terangan dimana komentar
Rageh Omar yang mendapat sorotan.
Hal yang positif sering diletakkan pada
masalah kesukuan, regional atau murni merupakan
keuntungan militeristik, sedangkan para penulis skenario senang memberikan
atribut negatif termasuk menurunkan arti negara hanya menjadi agama (Islam). Pada
bagian kedua menggambarkan keseimbangan dan penghormatan yang diberikan kepada
non-Muslim (Yahudi, Kristen dan lain-lain) dalam Daulah, suatu hal yang sangat
bertolak belakang dengan penindasan di zaman penjajahan Spanyol yang beragama
Katolik misalnya, namun para pembuat program itu memberikan atribut toleransi
Khilafah Utsmani ini dengan gambaran yang kabur tentang “multikulturalisme”
dengan mengabaikan ajaran Islam yang jelas mengenai perlakuan yang adil
terhadap warga non-Muslim dalam Daulah.
Pemerintahan
dua orang sultan dianggap lebih penting bagian kedua. Sulaiman Yang Agung (yang
memerintah 1520-1566 ) disorot sebagai seorang al “Kanuni” (pemberi hukum) .
Reformasi dan konsolidasi dari peraturan pemerintahan (Kanun) dalam kewenangan
Syariah dan bagaimanapun digembar-gemborkan menjadi contoh awal dari keuntungan
dari hukum “buatan manusia” di atas “hukum Tuhan “. Secara kontras, pergeseran
ke arah hukum Syariah oleh Sultan Abdul Hamid Kedua (yang memerintah dari 1876
hinnga 1909 ) dalam tahun-tahun terakhir negara tidak diletakkan dalam konteks
sebuah negara yang mengalami kemerosotan yang serius (karena beberapa alasan)
namun karena alasan kegagalan Islam dalam menyelesaikan masalah negara. Kaum
Muslim juga akan merasa mual ketika melihat cara Mustafa Kemal dianggap sebagai
seorang penyelamat Turki dalam bagian ketiga dengan sedikit referensi atas
bagian pengkhianatan yang dilakukan oleh Inggris, Perancis dan Rusia dalam
memecah belah Negara dan memudahkan jalan bagi mereka untuk memerintah dan
menghancurkan Khilafah. Sekularisasi
yang dilakukan Kemal secara dramatis bangsa dalam beberapa tahun yang singkat,
telah menghapus semua kaitan kepada bahasa Arab , dan budaya dan praktek Islam
mungkin dirangkum hanya seperlunya meskipun ada trauma yang jelas bagi masyarakat
tidak hanya di Turki, namu secara global .
Hal Ini merupakan suatu upaya nyata untuk
mencoba menggambarkan Kemalis (yang dibantu oleh Erdogan) pada zaman Turki
modern yang baru dengan pandangan lebih menguntungkan dan kedudukannya di masa
lalu sebagai pusat negara adidaya yang paling berpengaruh di dunia, posisi itu
dipertahankan selama ratusan tahun. Pembangunan ekonominya saat ini
dibesar-besarkan. Saat ini, meskipun terdapat sumber daya berlimpah, tenaga
kerja dan lokasi strategis di antara Timur, Barat dan Timur Tengah, Turki hanya
mampu masuk ke dalam daftar ekonomi G20 di belakang Belanda, yang merupakan
negara kecil. Negara Turki berada dalam 54 negara terkorupsi dalam tingkat
global, yang menderita di bawah utang negara lebih dari $ 300 miliar dan
ekonomi bipolar yang berfluktuasi diantara inflasi yang sangat tinggi dan
defisit perdagangan tahunan sebesar $ 90 miliar. Para ekonom Barat memujinya
karena memimpin dunia Muslim menjadi lebih banyak utang dan menjadikan budak
atas bunga hutang. Dalam kenyataannya, apa yang saat ini merupakan orang yang
sakit dan orang yang kesepian masih tersisa di pinggiran Eropa (yang masih
mendapat label hitam sebagai anggota Uni Eropa) dan Timur Tengah, yang
baru-baru ini ditolak secara kasar di Mesir. Suatu kasus yang kuat dapat dibuat
bagi seluruh Eropa untuk dicap sebagai kelemahan pada saat ini. Namun, karena
ini adalah model yang sama dimana para bankir mengibarkan kapitalis di seluruh
dunia, maka Siapapun akan terlihat bagus
dalam finansial jangka pendek setelah menggunakan beberapa kartu kredit.
Ini
tidak berarti bahwa umat Islam harus melihat kembali Kekhalifahan Usmani
melalui kacamata yang hanya bisa melihat yang bagus-bagus saja, atau bahwa itu
adalah model negara yang perlu ditiru untuk saat ini. Ada terlalu banyak akses
yang dilakukan oleh banyak penguasa termasuk penyalahgunaan bai’ah kepada para
kerabat, dan mengadopsinya sebagai bagian dari reformasi Tanzimat hukum sekuler
Eropa (ketika mencoba membenarkan mereka dalam Islam) yang merupakan indikasi
dari merosotnya negara. Kemerosotan yang diperburuk ketika sebagian ulama
menyetujui aspek-aspek Revolusi industri dan perkembangan teknologi lainnya
sebagai tidak Islamiah padahal jelas tidak demikian, dan teknologi itu sangat
dibutuhkan. Kurangnya tanggung jawab para penguasa yang hanyut untuk menerapkan
Islam juga merupakan masalah besar, seperti juga penerimaan atas pembagian
wilayah-wilayah muslim, tindakan murtad, menurunnya penggunaan bahasa Arab
(ijtidad) dan sebagainya.
Periode
Usmani merupakan periode kritis dalam sejarah Islam yang harus banyak
dipelajari dan yang akhirnya menyoroti bencana implikasi atas kehilangan
kepemimpinan dan stabilitas ketika negara dibubarkan.
Syed Ameer Ali,
politikus India terkemuka, menulis di Times pada tanggal 5 Maret 1924 :
“Sulit untuk mengantisipasi efek yang tepat atas
diruntuhkannya Khilafah pada pikiran umat Islam India. Tapi begitu besar yang
saya bisa tegaskan bahwa hal ini akan terbukti menjadi bencana bagi Islam dan
peradaban. Penekanan terhadap institusi yang pernah dihormati di seluruh dunia
Muslim sebagai simbol persatuan Islam, akan membawa kehancuran kekuatan moral
sebagai Islam. Hal ini akan menimbulkan revolusi dan kekacauan”.
Dan sayang
sekali, dia benar adanya. Kehancuran Khilafah pada bulan Maret 1924 adalah
bencana bagi umat dan pemecahan yang mudah dilakukan dan kolonisasi atas
wilayah Islam tidak sulit untuk diramalkan sebagaimana yang diraalkan Syed
Ameer Ali. Tantangan bagi umat Islam saat ini adalah memahami hal-hal penting
yakni sistem Khilafah, bukan salah tempat dengan sejarah namun kewajiban Islam
untuk menerapkan gaya hidup menurut Syariah, dengan aturan atau hukum yang semuanya sesuai
dengan Islam, keamanan di tangan kaum Muslim dan dengan satu Khalifah yang
mewakili semua kaum Muslim. Sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi (saw ) :
“Barangsiapa yang mati tanpa bai’ah kepada seorang
Imam (Khalifah) maka matinya adalah mati Jahiliah” [HR Muslim].
Demikian artikel
dari Dinasti Utsmani: Kekaisaran Muslim Eropa.