Pemberhentian Khalifah dalam Sejarah Kepemimpinan Umat Islam
Dalam
sistem Pemerintahan Islam (Khilafah), kekuasaan berada di tangan umat
(as-sulthân li al-ummah). Artinya, umat memiliki hak untuk memilih dan
mengangkat khalifah yang mereka kehendaki. Namun demikian, umat tidak berhak
memberhentikan Khalifah selama akad baiat kepada dia dilaksanakan secara
sempurna berdasarkan ketentuan syariah. Ketika terjadi perubahan keadaan pada
diri Khalifah yang menjadikan dia tidak layak lagi menjabat sebagai khalifah,
maka umat tetap tidak berhak membuat keputusan untuk memberhentikan dia. Kalau
begitu, siapa yang berhak membuat keputusan untuk memberhentikan Khalifah?
Telaah
Kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam pasal
41 yang berbunyi: “Mahkamah Mazhâlim adalah satu-satunya lembaga yang menentukan
ada dan tidaknya perubahan keadaan pada diri Khalifah yang menjadikan dia tidak
layak menjabat sebagai khalifah. Mahkamah ini merupakan satu-satunya lembaga
yang memiliki wewenang memberhentikan atau menegur Khalifah.” (An-Nabhani,
Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 171).
Sebab-sebab
Pemberhentian Khalifah
Baiat identik
dengan perjanjian atau kontrak politik atau kesepakatan atas dasar sukarela
(ar-ridha wa al-ikhtiyar). Dalam hal baiat ini, umat adalah pemilik hak dan
kekuasaan, sementara Imam/Khalifah adalah wakil dari umat. Sebagai suatu
kontrak, baiat batal demi hukum ketika salah satu pihak menciderai isi baiat
tersebut atau ada unsur tekanan dan paksaan.
Para ulama
sepakat bahwa Imam/Khalifah—sepanjangmasih mampu menjalankan
kewajiban-kewajibannya, masih mampu mengurusi urusan-urusan rakyatnya, serta
adil di antara mereka—tidak boleh diberhentikan dan umat tidak boleh
memberontak kepada dirinya. Kesalahan kecil juga tidak membolehkan umat untuk
memberhentikan Imam/Khalifah. Sebab, kesempurnaan itu hanya milik Allah SWT
semata, dan orang yang ma’shum (tepelihara dari kesalahan) adalah orang yang
memang dipelihara oleh Allah SWT. Setiap anak Adam itu wajar apabila pernah
berbuat salah, namun sebaik-baik yang bersalah adalah mereka yang segera
bertobat.
Akan tetapi, ada
perkara besar yang memiliki pengaruh terhadap gaya hidup kaum Muslim, baik yang
berkaitan dengan urusan keagamaan maupun keduniaan. Di antaranya ada yang
menyebabkan keharusan memberhentikan Imam/Khalifah yang melakukan
perkara-perkara tersebut. Di antara perkara-perkara ini, ada yang disepakati
oleh para ulama, dan ada pula yang masih diperselisihkan (Ad-Dumaiji, Imâmah
al-Uzhmâ ‘inda Ahli as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hlm. 474).
Syaikh
Taqiyuddin rahimahullâh membuat dua klasifikasi penyebab pemberhentian
Khalifah. Pertama: terjadi perubahan keadaan yang secara otomatis mengeluarkan
Khalifah dari jabatannya, yaitu jika:
a)Khalifah
murtad dari Islam;
b)Khalifah gila
total (parah) yang tidak bisa disembuhkan;
c)Khalifah
ditawan musuh yang kuat, yang dia tidak mungkin bisa melepaskan diri dari
tawanan tersebut, bahkan tidak ada harapan untuk bisa bebas.
Kedua: terjadi
perubahan keadaan Khalifah yang tidak secara otomatis mengeluarkan dirinya dari
jabatannya, namun ia tidak boleh mempertahankan jabatannya itu, yaitu jika:
a)Khalifah telah
kehilangan ‘adalah-nya, yaitu telah melakukan kefasikan secara terang-terangan;
b)Khalifah
berubah bentuk kelaminnya menjadi perempuan atau waria;
c)Khalifah
menjadi gila namun tidak parah, kadang sembuh dan kadang gila;
d)Khalifah tidak
lagi dapat melaksanakan tugas-tugas sebagai khalifah karena suatu sebab, baik
karena cacat anggota tubuhnya atau karena sakit keras yang tidak dapat
diharapkan kesembuhannya;
e)Ada tekanan
yang menyebabkan Khalifah tidak mampu lagi menangani urusan kaum Muslim menurut
pikirannya sendiri, sesuai dengan hukum syariah.
Perbedaan di
antara kedua keadaan ini adalah: Pada keadaan pertama Khalifah tidak boleh
ditaati sejak terjadinya perubahan keadaan pada dirinya. Sebaliknya, pada keadaan
kedua Khalifah tetap harus ditaati sampai dia benar-benar telah diberhentikan
(An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, II/122-124; Zallum, Nizhâm al-Hukm
fi al-Islâm, hlm. 107).
Mekanisme
Pemberhentian Khalifah
Para ulama tidak
banyak mengemukakan masalah mekanisme pemberhentian Khalifah ini secara detail
dan meyakinkan. Tidak ada pula kesepakatan mereka tentang: siapa yang berwenang
memberhentikan Khalifah; oleh siapa atau lembaga mana.
Setidaknya dari
pendapat mereka ditemukan tiga mekanisme pemberhentian Khalifah. Pertama:
Khalifah mengundurkan diri ketika ia merasa sudah tidak mampu memikul tanggung
jawabnya seperti karena tua, sakit atau yang lainnya (Al-Qalqasyandi, Ma’âtsir
al-Inâfah fi Ma’âlim al-Khilâfah, 1/65). Imam al-Qurthubi mengatakan, “Imam
(Khalifah) wajib mengundurkan diri apabila ia menemukan dalam dirinya
kekurangan yang berpengaruh terhadap jabatan Imamahnya.” (Al-Qurthubi, Al-Jâmi’
li Ahkâm al Qur’ân, 1/272).
Kedua: perang
dan pemberontakan bersenjata. Artinya, Khalifah yang telah menyimpang dan tidak
layak lagi menjabat diberhentikan dengan paksa, diperangi atau dibunuh. Ini
adalah cara paling ekstrem yang biasanya menyebabkan timbulnya fitnah
(pertumpahan darah) di kalangan kaum Muslim sendiri. Ini adalah pendapat
kelompok Zaidiyah, Khawarij (sehingga mereka disebut khawârij [para
pemberontak]), Muktazilah (karena amar makruf nahi mungkar adalah salah satu
dari akidah mereka yang lima), sebagian Murji’ah dan Asy’ariyah. Namun, mereka
berbeda pendapat tentang kapan itu dilakukan, bagaimana jika kerusakannya lebih
besar dari kemaslahatannya, serta berapa jumlah kekuatan hingga boleh melakukan
itu. Sebagian Zaidiyah mengatakan: jika kekuatannya sebanyak Pasukan Badar.
Muktazilah menyatakan: jika dilakukan oleh kelompok dan diperkirakan menang.
Sebagian lagi menyatakan:berapa pun jumlahnya yang penting kompak. Yang lainnya
lagi menyatakan: jumlahnya separuh dari kekuatan penguasa zalim (Ad-Dumaiji,
Imâmah al-Uzhmâ ‘iInda Ahli as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hlm. 494).
Ketiga: cara
damai (ath-thuruq as-silmiyah), yaitu ahlul halli wal ‘aqdi menasihati Khalifah
dan mengingatkan bahaya yang ditimbulkan dari penyimpangannya; memberi dia
waktu dan bersabar, mungkin ia sadar lalu meninggalkan kezaliman dan
kejahatannya. Namun, jika ia terus dengan kezaliman dan kejahatannya, maka umat
wajib memberhentikan Khalifah dengan cara yang dimungkinkan, dengan syarat:
tidak menimbulkan kemungkaran yang lebih besar. Pasalnya, tidak boleh
menghilangkan kemungkaran dengan menciptakan kemungkaran yang lebih besar;
termasuk dalam cara ini adalah apa yang sekarang disebut dengan “pembangkangan
sipil, al-‘ishyân al-madani”. Caranya: Jika umat merasa bahwa Imam (Khalifah)
telah fasik, ia menjadi budak hawa nafsunya serta zalim, sehingga tidak layak
lagi menduduki jabatan Khilafah, maka disampailkan kepada dia nasihat. Jika ia
menolak dan keras kepala, umat wajib memboikot Khalifah dan siapa saja yang
memiliki hubungan dengan dirinya. Dengan demikian, Khalifahmendapati dirinya
jauh dari umat, baik ia menjadi tidak berharga atau asing di tengah umat
(Ad-Dumaiji, Imâmah al-Udzmâ ‘inda Ahli as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hlm. 496).
Ketiga mekanisme
ini masih belum menjawab dan menyelesaikan masalah pemberhentian Khalifah
secara detail dan meyakinkan sehingga masih menyisakan masalah. Kalau
Khalifahmengalami salah satu dari keadaan-keadaan yang menjadikan dirinya tidak
layak lagi menjadi khalifah, lalu ia mengundurkan diri, maka masalahnya bisa
selesai. Namun, bagaimana jika tidak? Apakah menggunakan cara kedua yang justru
akan menimbulkan masalah, yaitu fitnah (pertumpahan darah); atau cara ketiga
yang tidak akan menyelesaikan masalah, sebab penyelesaiannya bersifat
spekulatif?
Otoritas
Mahkamah Mazhâlim
Di tengah
ketidakjelasan mekanisme pemberhentian Khalifah ini, Syaikh Taqiyuddin
rahimahulLâh mengatakan bahwa Mahkamah Mazhâlim adalah yang paling berhak
menentukan keputusan (memvonis berhenti atau tidaknya) kalau memang keadaan
Khalifah telah mengalami perubahan yang bisa mengeluarkan dirinya dari jabatan
khalifah. Mahkamah Mazhâlim juga yang memiliki wewenang untuk memberhentikan
atau memberi peringatan kepada Khalifah (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah
al-Islamiyah, II/124; Zallum, Nizham al-Hukmi fi al-Islam, hlm. 114).
Apa yang
dikatakan Syaikh Taqiyuddin rahimahulLâh tampaknya cukup logis dan mampu
menjawab serta menyelesaikan masalah pemberhentian khalifah secara detail dan
meyakinkan, yakni dengan menempatkan Mahkamah Mazhâlim sebagai satu-satunya
pihak (lembaga atau badan) yang memiliki wewenang untuk menetapkan pemecatannya.
Mahkamah Mazhâlim-lah yang berwenang memecat Khalifah jika ia telah kehilangan
suatu syarat di antara syarat-syarat in‘iqâd ataukah tidak. Sebab, hal demikian
terkait dengan suatu perkara yang termasuk perkara yang menjadikan Khalifah
dipecat dan yang mengharuskan pemecatannya merupakan mazhlimah (kezaliman) di
antara berbagai kezaliman yang harus dihilangkan. Perkara tersebut merupakan
perkara yang memerlukan penetapan, yang tentu harus ditetapkan di hadapan
qâdhî. Mahkamah Mazhâlim adalah suatu pihak yang mempunyai kewenangan untuk
memutuskan penghapusan kezaliman & Qâdhî Mazhâlim-lah yang mempunyai
wewenang dan menetapkan ketika terjadinya mazhlimah (kezaliman) serta dapat
memberikan keputusan terhadap dirinya sendiri.
Karena itu,
Mahkamah Mazhâlim adalah pihak (lembaga atau badan) yang berhak menetapkan
apakah Khalifah telah kehilangan salah satu di antara syarat-syarat in‘iqâd
atau tidak. Mahkamah Mazhâlim juga memiliki kewenangan dalam menentukan
pemberhentian Khalifah. Hanya saja, apabila Khalifah telah kehilangan salah
satu kriteria in‘iqâd, lalu Khalifah mengundurkan diri, maka kepentingannya
selesai. Jika kaum Muslim berpandangan bahwa Khalifah wajib dicopot karena
hilangnya salah satu dari syaratsyarat in‘iqâd, sementara Khalifah menolak
pandangan mereka dalam masalah itu, maka keputusannya dikembalikan kepada
al-Qadhâ’ (Mahkamah Mazhâlim). Hal tersebut sesuai dengan firman Allah SWT:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ
فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang
suatu perkara maka kembalikanlah perkara itu kepada Allah
(al-Quran) dan Rasul (as-Sunnah) (QS an-Nisa’ [4]: 59).
Maksudnya, jika
kalian bersengketa dengan ulil amri (penguasa); artinya sengketa itu adalah
sengketa antara waliy al-amr (penguasa) dan umat. Adapunmaksud mengembalikan
sengketa itu kepada Allah dan Rasul-Nya adalah mengembalikannya kepada
al-Qadhâ’, yaitu kepada Mahkamah Mazhâlim (Zallum, Nizhâm al-Hukmi fi al-Islam,
hlm. 115; An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 172).
Dalam hal ini,
Mahkamah Mazhâlim juga memiliki kewenangan untuk membatasi masa peringatan guna
mengakhiri tekanan yang menguasai Khalifah, serta membatasi waktu pembebasannya
dari tawanan. Selama masa tersebut negara dipimpin oleh amir sementara (al-amir
al-muaqqat). Lalu jika Khalifah kembali memiliki otoritasnya tanpa tekanan dan
bebas dari tawanan, maka tugas amir sementara berakhir. Namun, apabila tekanan
dan penahanan belum berakhir maka Mahkamah Mazhâlim memutuskan untuk
memberhentikan Khalifah, danamir sementara mulai melakukan prosedur
pengangkatan khalifah baru (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 172).
WalLâhu a’lam
bish-shawâb.